kandisnews.one.CO.ID –
JAKARTA.
Nilai tukar rupiah tetap melemah untuk hari kelima secara berturut-turut di awal sesi perdagangan Kamis (29/5). Hal ini disebabkan oleh penguatan dolar AS pasca putusan pengadilan yang memiliki dampak signifikan pada sentimen pasar global.
Mengutip data
Bloomberg
Pukul 09.27 WIB, nilai tukar rupiah pada perdagangan spot tercatat di angka Rp 16.327 untuk setiap dolar AS, mengalami depresiasi sebesar 0,19% dibandingkan dengan posisi penutupannya kemarin yang mencapai Rp 16.296 per dolar AS.
Kenaikan tajam nilai dolar Amerika Serikat disebabkan oleh putusan dari Court of International Trade di Manhattan yang menghentikan kebijakan tariff impor “Liberation Day” milik Presiden Donald Trump.
Mahkamah memutuskan bahwa wewenang untuk mengontrol perdagangan internasional sepenuhnya ada di tangan Kongres, bahkan saat negara sedang dalam keadaan darurat sekalipun.
Pemerintah Trump segera mengajukan kasasi atas putusan tersebut, tetapi hal itu membawa harapan baru bagi para investor yang cemas tentang meningkatnya proteksi perdagangan global.
Keputusan itu menggugah minat investor pada aset dengan risiko lebih tinggi dan menyebabkan peningkatan nilai Indeks Dolar AS (DXY), yang berhasil melampaui level 100 untuk kali pertama dalam seminggu ini. Pada akhirnya, Indeks Dolar mencapai angka 100,40.
Dolar meningkat ketika dibandingkan dengan beberapa mata uang besar lainnya: naik 0,6% melawan yen Jepang menjadi sebesar ¥145,72 dan bertambah kuat 0,65% saat ditukarkan dengan franc Swiss hingga mencapai angka 0,8326.
Euro anjlok sebesar 0,5% menjadi US$1,1232 sementara Pound Sterling merosot 0,2% mencapai US$1,3432.
Ray Attrill, yang menjabat sebagai Kepala Strategi Valas di National Australia Bank, mengungkapkan bahwa respons pasar sangat cepat dan langsung terhadap berita itu.
“Kemungkinan besar respons pasar telah membatalkan fluktuasi yang terjadi akibat ketidakpastian pasca ‘Liberation Day’,” katanya.
Sejak pernyataan tarif luas yang diumumkan Trump bulan April lalu, para investor sesaat meragukan aset Amerika Serikat dan hal ini memicu penurunan dolar hingga mendekati 8% sepanjang tahun ini.
Pada saat yang sama, fluktuasi mata uang berbasis komoditas cenderung tenang. Dolar Australia tetap stabilize di level US$0,6428 sementara dolar Selandia Baru mengalami penurunan halus sebesar 0,13% mencapai angka US$0,59595.
Para pelaku pasar saat ini sedang memantau rilis data ekonomi penting dari Amerika Serikat, seperti Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) serta Indeks Inflasi Pengeluaran Konsumen (PCE). Data-data tersebut memiliki potensi untuk mengirimkan petunjuk baru tentang arah kebijakan tingkat suku bunganya The Fed.