BUS-TRUCK
– Penerapan elektrifikasi pada kendaraan bermotor di Indonesia, khususnya mobil penumpang dan sepeda motor, tidak dapat dibendung selama dua tahun terakhir.
Walaupun pendapatan keseluruhan masih berada pada angka satuan dari total penjualan mobil nasional, antusiasme konsumen di Indonesia tetap cukup besar.
Jangan lupa bahwa sektor lain seperti kendaraan komersial pun harus mendapat perhatian, minimal dari pihak pemerintahan.
Pada acara seminar harian bertajuk “Indonesia Zero Emission Heavy-Duty Vehicle Summit 2025” dengan tema “Membentuk Masa Depan Angkutan Bebas Emisi dan Transportasi Umum”, disebutkan bahwa sektor truk dan bus merupakan kontributor utama polusi udara di tanah air.
Seminarselama satu hari di Jakarta pada tanggal 27 Mei, diselenggarakan oleh WRI Indonesia, sebuah institusi konsultansi dalam bidang mobilitas, menghadirkan berbagai pemain utama dari industri transportasi baik barang maupun penumpang bersama dengan para pembuat kebijakan dari segi pemerintahan.
Manajer Utama WRI Indonesia, Arief Wijaya, saat membuka presentasinya menjelaskan bahwa Indonesia telah menghasilkan emisi sebanyak 1,05 miliar CO2eq dari berbagai sumber: pembangkit listrik dengan kontribusi 273 juta, transportasi dengan 156 jutan, serta industri yang mencapai 138 juta.
“Emisi yang dihasilkan oleh truk dan bus, yaitu kendaraan berat, menyumbang sebesar 35,6% terhadap total emisi dari seluruh moda transportasi darat meskipun jumlahnya hanya mempresentasikan 3,9% dari keseluruhan kendaraan,” jelas Arief.
Data tersebut dianalisis berdasarkan laporan Indonesia Road Transportation Emission and Calculation and Monitoring Tool yang dirilis oleh Kemenhub bersama WRI pada tahun 2024.
Di dalam laporan tersebut, total Kendaraan Bermotor Nasional mencapai 139.754.383 unit yang meliputi juga mobil pribadi dan sepeda motor. Selain itu, populasi Kendaraan Niaga seperti bis dan truk berjumlah 6.327.814 unit.
Arief lebih lanjut menjelaskan bahwa kendaraan komersial turut menjadi sumber dari timbulnya beragam masalah pernapasan di area Kota Jakarta. Angka kasusnya cukup tinggi dengan total 3.043 kasus gangguan kardiovaskular serta 455 kasus penyakit pernapasan.
Eksosmos dari knalpot truk dan bus menghasilkan partikel bernama PM 2.5.
Ini merupakan butir-butir pencemar udara yang amat halus, dengan ukuran sebesar 2,5 Mikrometer atau lebih kecil. Butir-butir tersebut cukup berbahaya lantaran bisa menembus hingga kedalam paru-paru serta sirkulasi darah, mengakibatkan bermacam-macam gangguan kesehatan.
Batas ambang partikel tersebut adalah sembilan kali di atas anjuran WHO.
Keadaannya menjadi lebih rumit lagi, sebab Arief pun mengungkapkan hasil penemuan oleh Pertamina pada tahun 2024 yang menyatakan bahwa subsidi solar bagi jenis armada truk sudah mencapai angka Rp 85 triliun.
Memerlukan campur tangan langsung dari pemerintahan nasional serta keterlibatan pemerintah lokal
Oleh karena itu, tim WRI mengusulkan saran untuk mempercepat penggunaan truk berdaya listrik. Arief menekankan pentingnya mencapai suatu strategi penurunan karbon dalam sistem transportasi komersial di seluruh negeri.
Pada saat bersamaan, untuk transportasi penumpang diperlukan program yang oleh WRI disebut ‘penggabungan kebutuhan’.
Yang dimaksud di sini adalah pengumpulan permintaan nyata untuk armada transportasi penumpang di seluruh negeri oleh para pelaku usaha seperti bus company, lembaga pemerintah, serta pemerintahan propinsi sampai ke level kota atau kabupaten.
Itulah volume yang disarankan untuk kebutuhan kepada pihak APM kendaraan niaga berbasis listrik, yang diharapkan dapat mengurangi biaya per unit dengan signifikan.
Intervensi sinkron yang diantisipasi berasal dari pihak pemerintah tersebut, menurut Urban Mobility Manager WRI Indonesia, I Made Vikananda, dapat menghasilkan peningkatan kondisi secara signifikan.
Pada presentasinya, “Bisa mencapai penurunan emisi gas rumah kaca hingga 4,91 juta ton CO2eq setiap tahunnya. Mengurangi polutan PM2.5 sebesar 1,16 ribu ton tiap tahun, serta memangkas subsidi bahan bakar minyak senilai Rp8,02 triliun per tahun.”
(EW)